Mar 30, 2015

Membangun kebiasaan bijak bahan bakar dengan “pelajaran dari desa”



Sumber gambar: Ciricara.com

Penduduk desa dengan segala keterbatasannya dibanding penduduk urban perkotaan baik dari sisi informasi, teknologi, akses perkotaan dan infrastruktur lainnya, ternyata membawa sebuah kebijaksanaan dan kearifan hidup yang sejatinya adalah jati diri Indonesia di masa lampau. Mengapa saya berkata demikian?

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa pemerintah telah melakukan berbagai usaha untuk menghindari krisis energi yang diperkirakan akan menimpa Indonesia pada tahun 2025 atau paling lambat pada tahun 2030. Berbagai upaya telah dilakukan mulai dari diversifikasi energi untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan, konservasi energi, membuat regulasi hingga beberapa penyuluhan terkait efisiensi energi.
Meski demikian, sudahkah usaha ini maksimal? Saya fikir, tidak. Karena kewajiban untuk mengatasi isu krisis energi ini bukanlah semata-mata tanggung jawab pemerintah. Bagaimana mungkin pemerintah melakukannya sendiri tanpa bantuan penduduk Indonesia yang setidaknya mencapai 255 juta penduduk. Meski tidak dapat dipungkiri, peran pemerintah sangat besar baik dari sisi regulasi, sosialisasi, dan juga invensi sumber energi.
Kita coba berandai-andai. Anggaplah pemerintah telah memiliki jurus jitu untuk mengatasi krisis energi. Namun 255 juta penduduk atau anggaplah setengah dari jumlah penduduk Indonesia tersebut, memilih bersikap apatis. Masa bodoh dan tidak ambil pusing. Mereka boros energi dan tidak bijak dalam menggunakannya. Setiap tahun jumlah penduduk tersebut bertambah berkali-kali lipat hingga memaksa permintaan terhadap energi tumbuh berkali-kali lipat. Lalu apakah jurus jitu pemerintah dapat mengatasi ledakan kebutuhan energi? Apakah cukup dengan mengurangi supply energi atau terus meningkatkan sumber energi terbarukan? Sebelum jurus jitu pemerintah sempurna digunakan, sumber energi negara ini pastinya telah terlebih dahulu terkuras habis.
Program saving energy sebenarnya telah diatur dengan sangat jelas. Namun tidak sedikit masyarakat yang masih belum tahu. Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi, yaitu suatu upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya sumber energi dalam negeri serta meningkatkan efisisensi pemanfaatannya. Berdasarkan peraturan tersebut, tanggung jawab pelaksanaan saving energy, tentunya yang paling utama adalah pemerintah pusat, daerah, provinsi, kabupaten/kota, pengusaha dan kemudian masyarakat.
Mengacu pada peraturan tersebut pula, seharusnya permasalahan energi bukan lagi setaraf isu dan wacana melainkan sebuah kewajiban bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga kita dapat terhindar dari defisit energi di masa depan. Lagi-lagi sebagaimana yang saya katakan diawal, banyak masyarakat yang belum menyadari hal ini terlepas dari apakah memang belum mendapatkan informasi lengkap, seperti penduduk di pedalaman desa atau hanya sekedar apatis.
Pelajaran berharga yang perlu kita pertimbangkan dari masyarakat pedesaan dengan segala keterbatasannya. Berdasarkan pengalaman saya saat berkontribusi pada kegiatan karang taruna di pedalaman sumatera, dan daerah pegunungan di  jawa adalah meski pemahaman akan isu energi ini tidak sebaik penduduk perkotaan dengan informasi dan kalangan cendikia yang cukup bahkan sangat banyak, mereka beramai-ramai saling membantu dan memberikan tips, termasuk saling mengingatkan untuk menghemat energi.
Sebuah kearifan lokal yang terus dipegang teguh bahwa sumber daya dan segala anugerah kekayaan alam yang ada saat ini juga menjadi hak anak, cucu dan keturunan kita kelak. Sebuah esensi konsep pembangunan berkelanjutan luar biasa meski istilah tersebut tidak mereka kenal. Mereka percaya bahwa pepatah bijak untuk “memulai dari diri sendiri dan dari yang paling kecil” memang jamu yang sangat manjur dalam sebuah perubahan.
Pertama, dari yang paling kecil, meski kehidupan mereka telah sangat berubah beberapa tahun terakhir berkat peningkatan taraf hidup. Namun mereka berusaha untuk kembali pada budaya lama. Berjalan kaki bersama menuju fasilitas publik seperti masjid, pasar tradisional, kondangan dikampung, atau sekedar berjalan kaki untuk pergi arisan. “supaya hemat dan nantinya Indonesia tidak kehabisan bahan bakar”. Jawaban mereka saat ditanya kenapa rela berbondong-bondong berjalan kaki.
Kedua, membiasakan menggunakan kendaraan umum saat bepergian. Meski kebiasaan ini sangat kecil, namun hal ini memberikan imbas yang luar biasa. Selain mengurangi pemakaian bahan bakar secara langsung, kebiasaan ini juga dapat mengurai kemacetan dengan berkurangnya volume kendaraan di badan jalan. Kesadaran ini patut ditiru, terutama penduduk perkotaan yang sering mengeluhkan masalah kemacetan.
Ketiga, mematikan kendaraan atau mesin berbahan bakar minyak saat tidak digunakan. Sangat berbeda dengan penduduk pedesaan, penduduk kota cenderung melakukan pemborosan bahan bakar dengan tidak mematikan mesin ketika tidak sedang digunakan maupun tindak pemborosan lainnya. Menghidupkan genset atau diesel saat tiba-tiba terjadi pemadaman ditengah menonton sinetron langganan, misalnya. Atau membiarkan mobil dalam keadaan hidup saat terlalu cepat menjemput anak disekolah, dan kebiasaan pemborosan lainnya.
Keempat, menggunakan sumber penerangan alternatif yang lebih ramah energi. Penduduk desa kebanyakan lebih memilih untuk menghidupkan lilin, menggunakan obor ataupun menggunakan lampu minyak kecil untuk menghemat penggunaan minyak tanah serta solar yang dibutuhkan untuk menyalakan genset.
Kelima, menggunakan sumber pembakaran alternatif. Sebagian besar penduduk desa memiliki dapur alternatif yang dibangun terpisah dari dapur utama. Hal ini dilakukan karena, saat tidak tergesa-gesa, para penduduk lebih sering menggunakan tungku pembakaran dibanding kompor minyak ataupun kompor gas yang mereka miliki. Mereka menggunakan dedaunan kering, daun blarak (batang daun kelapa), dan juga buah kelapa sawit sebagai sumber pembakaran alternatif.
Terakhir, dan merupakan ide penghematan energi yang sangat kreatif. Dengan menggunakan bahan bakar olahan sendiri, penduduk desa bersama-sama mengolah buah kelapa sawit dan juga kompos menjadi bahan bakar minyak. Meski belum optimal karena keterbatasan pengetahuan dan tidak adanya dukungan teknologi untuk mengembangkan, penemuan bahan bakar alternatif tersebut cukup berguna sebagai pengganti minyak tanah.
Dari segi bisnis, penemuan tersebut sebenarnya sangat menguntungkan. Penduduk yang telah berhasil membuat bahan bakar alternatif tersebut, biasanya akan memasok kepada para pedagang makanan dan jajanan didesa seperti warung makan, gorengan dan lain-lain. Hanya saja perkembangan ini belum dilihat oleh pemerintah dan membutuhkan berbagai penelitian dan teknologi lanjutan.
Kita tahu bahwa hingga saat ini, sumber energi yang digunakan sebagian besar masih bersumber pada energi fosil, yaitu minyak bumi sebesar 46,9 persen, batu bara 26,4 persen dan gas alam sebesar 21,9 persen. Sementara tenaga air (hydro) dan energi terbarukan lainnya hanya 4,8 persen dari total sumber daya energi yang termanfaatkan.
Jika masyarakat dapat bijak menggunakan bahan bakar dan mengambil pelajaran dari penduduk desa tersebut, dapat dibayangkan berapa besar penghematan yang dapat dilakukan. Selain itu, penegakan hukum atas berbagai regulasi yang telah ada juga perlu dilakukan. Tidak ada lagi kebal hukum, dan tidak ada pula pemborosan bahan bakar. Maka dapat dipastikan penggunaan bahan bakar akan menurun secara signifikan yang akan menarik harga bahan bakar kembali turun, sebagaimana teori ekonomi, ceteris paribus. Rakyat terbantu.
Meski tampaknya, rencana tersebut bak janji negeri utopia yang penuh impian, tidak ada salahnya mencoba. Demi kebaikan diri dan anak turun di masa yang akan datang. Ayo dukung gerakan hemat energi. Sekian.

2 comments:

  1. masih banyak dari kita yg kurang atau bahkan tidak perduli akan lingkungan ini ya....

    ReplyDelete