Sumber gambar: Ciricara.com |
Penduduk desa dengan segala keterbatasannya dibanding penduduk
urban perkotaan baik dari sisi informasi, teknologi, akses perkotaan dan
infrastruktur lainnya, ternyata membawa sebuah kebijaksanaan dan kearifan hidup
yang sejatinya adalah jati diri Indonesia di masa lampau. Mengapa saya berkata
demikian?
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa pemerintah telah
melakukan berbagai usaha untuk menghindari krisis energi yang diperkirakan akan
menimpa Indonesia pada tahun 2025 atau paling lambat pada tahun 2030. Berbagai
upaya telah dilakukan mulai dari diversifikasi energi untuk meningkatkan pangsa
energi terbarukan, konservasi energi, membuat regulasi hingga beberapa
penyuluhan terkait efisiensi energi.
Meski demikian, sudahkah usaha ini maksimal? Saya fikir, tidak.
Karena kewajiban untuk mengatasi isu krisis energi ini bukanlah semata-mata
tanggung jawab pemerintah. Bagaimana mungkin pemerintah melakukannya sendiri
tanpa bantuan penduduk Indonesia yang setidaknya mencapai 255 juta penduduk. Meski
tidak dapat dipungkiri, peran pemerintah sangat besar baik dari sisi regulasi,
sosialisasi, dan juga invensi sumber energi.
Kita coba berandai-andai. Anggaplah pemerintah telah memiliki jurus
jitu untuk mengatasi krisis energi. Namun 255 juta penduduk atau anggaplah
setengah dari jumlah penduduk Indonesia tersebut, memilih bersikap apatis. Masa
bodoh dan tidak ambil pusing. Mereka boros energi dan tidak bijak dalam
menggunakannya. Setiap tahun jumlah penduduk tersebut bertambah berkali-kali
lipat hingga memaksa permintaan terhadap energi tumbuh berkali-kali lipat. Lalu
apakah jurus jitu pemerintah dapat mengatasi ledakan kebutuhan energi? Apakah
cukup dengan mengurangi supply energi atau terus meningkatkan sumber energi
terbarukan? Sebelum jurus jitu pemerintah sempurna digunakan, sumber energi
negara ini pastinya telah terlebih dahulu terkuras habis.
Program saving energy sebenarnya telah diatur dengan sangat
jelas. Namun tidak sedikit masyarakat yang masih belum tahu. Peraturan
Pemerintah No. 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi, yaitu suatu upaya
sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya sumber energi dalam
negeri serta meningkatkan efisisensi pemanfaatannya. Berdasarkan peraturan
tersebut, tanggung jawab pelaksanaan saving energy, tentunya yang paling
utama adalah pemerintah pusat, daerah, provinsi, kabupaten/kota, pengusaha dan
kemudian masyarakat.
Mengacu pada peraturan tersebut pula, seharusnya permasalahan
energi bukan lagi setaraf isu dan wacana melainkan sebuah kewajiban bagi
seluruh lapisan masyarakat sehingga kita dapat terhindar dari defisit energi di
masa depan. Lagi-lagi sebagaimana yang saya katakan diawal, banyak masyarakat
yang belum menyadari hal ini terlepas dari apakah memang belum mendapatkan
informasi lengkap, seperti penduduk di pedalaman desa atau hanya sekedar
apatis.
Pelajaran berharga yang perlu kita pertimbangkan dari masyarakat
pedesaan dengan segala keterbatasannya. Berdasarkan pengalaman saya saat
berkontribusi pada kegiatan karang taruna di pedalaman sumatera, dan daerah pegunungan
di jawa adalah meski pemahaman akan isu
energi ini tidak sebaik penduduk perkotaan dengan informasi dan kalangan
cendikia yang cukup bahkan sangat banyak, mereka beramai-ramai saling membantu
dan memberikan tips, termasuk saling mengingatkan untuk menghemat energi.
Sebuah kearifan lokal yang terus dipegang teguh bahwa sumber daya
dan segala anugerah kekayaan alam yang ada saat ini juga menjadi hak anak, cucu
dan keturunan kita kelak. Sebuah esensi konsep pembangunan berkelanjutan luar
biasa meski istilah tersebut tidak mereka kenal. Mereka percaya bahwa pepatah
bijak untuk “memulai dari diri sendiri dan dari yang paling kecil” memang jamu
yang sangat manjur dalam sebuah perubahan.
Pertama, dari yang paling kecil, meski
kehidupan mereka telah sangat berubah beberapa tahun terakhir berkat
peningkatan taraf hidup. Namun mereka berusaha untuk kembali pada budaya lama.
Berjalan kaki bersama menuju fasilitas publik seperti masjid, pasar
tradisional, kondangan dikampung, atau sekedar berjalan kaki untuk pergi
arisan. “supaya hemat dan nantinya Indonesia tidak kehabisan bahan bakar”.
Jawaban mereka saat ditanya kenapa rela berbondong-bondong berjalan kaki.
Kedua, membiasakan menggunakan kendaraan
umum saat bepergian. Meski kebiasaan ini sangat kecil, namun hal ini memberikan
imbas yang luar biasa. Selain mengurangi pemakaian bahan bakar secara langsung,
kebiasaan ini juga dapat mengurai kemacetan dengan berkurangnya volume
kendaraan di badan jalan. Kesadaran ini patut ditiru, terutama penduduk
perkotaan yang sering mengeluhkan masalah kemacetan.
Ketiga, mematikan kendaraan atau mesin
berbahan bakar minyak saat tidak digunakan. Sangat berbeda dengan penduduk
pedesaan, penduduk kota cenderung melakukan pemborosan bahan bakar dengan tidak
mematikan mesin ketika tidak sedang digunakan maupun tindak pemborosan lainnya.
Menghidupkan genset atau diesel saat tiba-tiba terjadi pemadaman ditengah
menonton sinetron langganan, misalnya. Atau membiarkan mobil dalam keadaan
hidup saat terlalu cepat menjemput anak disekolah, dan kebiasaan pemborosan
lainnya.
Keempat, menggunakan sumber penerangan
alternatif yang lebih ramah energi. Penduduk desa kebanyakan lebih memilih
untuk menghidupkan lilin, menggunakan obor ataupun menggunakan lampu minyak
kecil untuk menghemat penggunaan minyak tanah serta solar yang dibutuhkan untuk
menyalakan genset.
Kelima, menggunakan sumber pembakaran
alternatif. Sebagian besar penduduk desa memiliki dapur alternatif yang
dibangun terpisah dari dapur utama. Hal ini dilakukan karena, saat tidak
tergesa-gesa, para penduduk lebih sering menggunakan tungku pembakaran
dibanding kompor minyak ataupun kompor gas yang mereka miliki. Mereka
menggunakan dedaunan kering, daun blarak (batang daun kelapa), dan juga
buah kelapa sawit sebagai sumber pembakaran alternatif.
Terakhir, dan merupakan ide penghematan
energi yang sangat kreatif. Dengan menggunakan bahan bakar olahan sendiri,
penduduk desa bersama-sama mengolah buah kelapa sawit dan juga kompos menjadi
bahan bakar minyak. Meski belum optimal karena keterbatasan pengetahuan dan
tidak adanya dukungan teknologi untuk mengembangkan, penemuan bahan bakar
alternatif tersebut cukup berguna sebagai pengganti minyak tanah.
Dari segi bisnis, penemuan tersebut sebenarnya sangat
menguntungkan. Penduduk yang telah berhasil membuat bahan bakar alternatif
tersebut, biasanya akan memasok kepada para pedagang makanan dan jajanan didesa
seperti warung makan, gorengan dan lain-lain. Hanya saja perkembangan ini belum
dilihat oleh pemerintah dan membutuhkan berbagai penelitian dan teknologi
lanjutan.
Kita tahu bahwa hingga saat ini, sumber energi yang
digunakan sebagian besar masih bersumber pada energi fosil, yaitu minyak bumi
sebesar 46,9 persen, batu bara 26,4 persen dan gas alam sebesar 21,9 persen. Sementara
tenaga air (hydro) dan energi terbarukan lainnya hanya 4,8 persen dari
total sumber daya energi yang termanfaatkan.
Jika masyarakat dapat bijak menggunakan bahan bakar dan mengambil pelajaran
dari penduduk desa tersebut, dapat dibayangkan berapa besar penghematan yang
dapat dilakukan. Selain itu, penegakan hukum atas berbagai regulasi yang telah
ada juga perlu dilakukan. Tidak ada lagi kebal hukum, dan tidak ada pula
pemborosan bahan bakar. Maka dapat dipastikan penggunaan bahan bakar akan
menurun secara signifikan yang akan menarik harga bahan bakar kembali turun,
sebagaimana teori ekonomi, ceteris paribus. Rakyat terbantu.
Meski tampaknya, rencana tersebut bak janji negeri utopia yang penuh
impian, tidak ada salahnya mencoba. Demi kebaikan diri dan anak turun di masa
yang akan datang. Ayo dukung gerakan hemat energi. Sekian.
Nice share. Salam kenal :D
ReplyDelete*salim sungkem
masih banyak dari kita yg kurang atau bahkan tidak perduli akan lingkungan ini ya....
ReplyDelete