Dec 9, 2014

Ibn Khaldun’s Contribution on Modern Trade: Evidence from Indonesian Halal Food Exports



Lu’Lu’ Rofi’atu Laila
(S. 1115. 223)
Islamic Economics Sciences
Tazkia University College of Islamic Economics
Jl. Ir. H. Djuanda No. 76 Sentul City, Bogor.

Abstract
In the last decades, the benefit of international trade has been believed shown by the increasing number of Free Trade Agreement (FTA) between country and region, including AEC by 2015. One of atracting sector with significant growth 12,6% annually is halal food sector. Much have been discussed Ibn Khaldun’s contribution on economics, however, there are few number studies discussed his international trade theory. This paper aims to discribe Ibn Khaldun’s contribution on modern trade, particularly Heckscher Ohlin’s (1933) “HO Theory”, Raymond Vernon’s (1966) “Product Cycle Theory” and John Dunning’s (1975) “Eclectic (OLI) Paradigm Theory” then compare them with special reference to Indonesian halal food export. This paper consist of three main chapter with introduction as the first chapter. The second chapter describe the discussion including literature review used in paper and chapter three conclude the paper. The result shows that there are striking similarities beetween his thought and these modern theoriest, though the writer do not imply that these theories are directly driven from Ibn Khaldun’s Muqaddimah. Through the infiltration between His thought and these theories, there are certain steps that can be used to maximize Indonesian halal food export so that we can achieve the benefit of trade which are people’s satisfaction, merchant’s profit and the wealth of nation.

Keyword: International trade, Ibn Khaldun, HO, OLI, Product Cycle Theory, Halal food


I.       Introduction
Dalam beberapa dekade terakhir, manfaat dari Free Trade Agreements (FTA) telah dipercayai terbukti dengan terus bertambahnya jumlah FTA antar negara dan wilayah. Jumlah FTA global dan juga wilayah ASEAN bahkan hampir mencapai dua kali lipat dalam satu dekade (ADB, 2013). Pertumbuhan FTA tersebut dapat dilihat pada gambar 1 yang menunjukkan bahwa jumlah FTA yang telah ditandatangani dan telah berjalan, dalam negosiasi, serta yang baru saja diusulkan telah meningkat tajam sejak awal tahun 1990-an, sedangkan FTA yang telah ditandatangani tapi belum berjalan cenderung konstan.
Sumber: Asian Development Bank (2013)
Gambar 1. Tren FTA di dunia, 1975-2013
Pada tahun 2015, negara-negara anggota ASEAN akan segera menerapkan the ASEAN Economic Community (AEC) yang memiliki tujuan utama mengintegrasikan pasar dan basis produksi di ASEAN. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui lima elemen dasar yaitu arus bebas barang; jasa; investasi; modal; serta tenaga kerja berpengalaman (Effendi, 2014).
Salah satu sektor yang berhasil menarik perhatian dengan tren peningkatan yang signifikan adalah produk halal, khususnya makanan halal. Angka perdagangan makanan halal dunia mencapai 632 milyar USD pertahun dan mencapai 17% dari industri makanan dunia secara keseluruhan. Dari angka tersebut, pada tahun 2010 pasar perdagangan makanan halal yang terbesar terletak di Asia dengan nilai 400 milyar USD dan terendah di Australia dengan nilai 1,2 milyar USD. Pasar ini tidak terpengaruh secara signifikan oleh krisis dunia dan telah mengalami pertumbuhan sebesar 12,6% dalam kurun waktu enam tahun sejak 2004 (Agri-Food Trade Service Kanada, 2011).
Tabel 1. Pasar Makanan Hala Dunia Berdasarkan Benua 2009-2010 (USD)
Sumber: World Halal Forum 2009 Post Event Report
Potensi tersebut selayaknya dikembangkan menggunakan teori-teori yang relevan. Sebagai manhaj al-hayah, Islam telah memberikan petunjuk yang jelas disegala aspek kehidupan termasuk aktivitas ekonomi. Allah secara jelas berfirman bahwa Islam merupakan jalan hidup yang sempurna dan telah Allah sempurnakan bagi seluruh pemeluknya (al-maidah, ayat 3). Salah satu pemikir Islam yang berkontribusi dalam hal ini adalah Ibnu Khaldun. Beliau menyatakan bahwa perdagangan internasional akan memberikan kepuasan pada penduduk, keuntungan bagi pedagang dan meningkatkan kekayaan negara (Oweiss, 2003).
Meski banyak yang membahas kontribusi Ibnu Khaldun dalam ilmu ekonomi, khususnya tentang theory of labor and value, income distribution and growth, market equilibrium, public finance and taxation (Ahmad, 1996; Boulaikia 1971; Sofi, 1995; Ali & Thomson,1999), namun belum banyak yang membahas teori-teori perdagangan internasional beliau yang searah dengan teori-teori modern (Ahmad dan Mahmud, 2006) khususnya yang dipropagandakan oleh; E.F. Heckscher & B. Ohlin (HO Theory) (1933), Raymond Vernon (Product Cycle Theory) (1979) serta John F. Dunning (Eclectic Paradigm/ OLI Theory) (2000).
Paper ini bertujuan untuk menganalisa teori-teori perdagangan internasional yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun dan perbandingannya dengan teori-teori perdagangan internasional modern khususnya HO, Product cycle dan OLI theory yang secara khusus mengacu pada ekspor makanan halal di Indonesia. Paper ini terdiri dari tiga bagian utama, termasuk introduction sebagai bagian pertama. Bagian kedua berisi diskusi terkait permasalahan yang diangkat dalam paper sekaligus literatur review yang digunakan. Bagian akhir paper yang juga sebagai penutup, akan menyimpulkan keseluruhan paper.
II.    Discussions
Meski tidak terbukti secara empiris bahwa teori-teori perdagangan internasional yang menjadi cikal bakal terbentuknya berbagai teori perdagangan modern berasal dari pemikiran ibnu khaldun, namun beberapa ide dari Hekscher, Ohlin, Vernon dan Dunning memiliki kesamaan, sedikitnya dalam beberapa bagian. Ketidaksamaan ini dikarenakan pada zaman Ibn Khaldun bentuk dari globalisasi perdagangan sebagian besarnya hanyalah impor dan ekspor keahlian sedangkan bentuk globalisasi pada abad ke-20 tidak hanya impor-ekspor tetapi juga investasi asing (Ahmad dan Mahmud, 2006).
Evolusi Teori Perdagangan Internasional
Berdasarkan berbagai tahapan perdagangan internasional dan teori-teori yang dikembangkan untuk menjelaskan fenomena ini selama beberapa abad, terdapat beberapa teori yang sejalan dengan pemikiran Ibn Khaldun. Teori dan bentuk aktivitas perdaganga internasional tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
Tabel 2. Teori dan Bentuk Aktivitas Perdagangan International
Sumber: Ahmad dan Mahmud (2006), dengan beberapa perubahan
Adapun pemikiran-pemikiran lain yang dirasa tidak sejalan dengan pemikiran Ibn khaldun tidak dicantumkan dalam tabel. Teori yang akan dibahas dalam paper ini adalah teori perdagangan internasional yang dikembangkan selama pertengahan kedua abad ke-21 dan setelahnya. Teori Smith dan Ricardo tidak akan dibahas dalam paper ini karena selain telah banyak yang membahas, juga karena teori klasik dan neoklasik tersebut telah berevolusi dalam teori modern. Artinya, teori-teori modern tersebut merupakan sintesis dari teori-teori sebelumnya.
Heckscher-Ohlin (HO) Theory (1944)
Teori HO menyatakan bahwa perdagangan internasional lebih banyak disebabkan oleh perbedaan dalam sumberdaya. Teori ini disebut juga teori perdagangan “factor proportion” (Krugman, et al, 2010). Hekcscher-Ohlin menyatakan bahwa suatu negara harus memproduksi dan mengekspor komoditas yang menggunakan relative abundant factor dan mengimpor komoditas yang menggunakan relative scarce factor (Suranovic, 2004; Leamer, 1955; Krugman et al, 2010). Faktor produksi yang dimaksud dapat berupa modal maupun tenaga kerja.
Pada masa Ibn Khaldun, produksi barang sebagian besar merupakan labor intensive. Hal ini tercermin dari pengulangan ide beliau dalam muqaddimah bahwa populasi yang besar (tenaga kerja yang banyak) akan menyebabkan suatu kota menjadi kaya. Ibn Khaldun juga menyarankan untuk mengekspor kelebihan barang dari kota dengan labor intensive sehingga dapat membawa lebih banyak kekayaan bagi suatu kota.
“If the labor or the inhabitants of a town or city is distributed in accordance with necessities and needs of those inhabitants, a minimum of the labor will suffice. The labor (available) is more than is needed. Consequently, it is spent to provide the conditions and customs of luxury and to satisfy the needs of the inhabitants of other cities. They import (the things they need) from people who have surplus through exchange or purchase. Thus, the people who have surplus get a good deal of wealth”. (Rosenthal, 1987; Thoha, 2009).[1]
Pernyataan Ibn Khaldun tersebut, selain ekspor beliau juga menyarankan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan dari kota lain yang memiliki surplus dalam jenis barang yang berbeda. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa sepintas Ibn Khaldun telah menunjukkan teori keuntungan absolut dan komparatif.
Product Cycle Theory (Raymond Vernon) (1966)
Teori siklus produk yang dikembangkan oleh Raymond Vernon terdiri dari tiga tahapan, yaitu: 1) The New Product- merupakan produk yang baru saja ditemukan, diproduksi dan dijual secara domestik; 2) The Maturing Product- Negara penemu menjual produknya ke negara lain. Pada tahap ini, terdapat banyak produsen sehingga harga dari barang akan menurun; 3) The Standardize Product- produksi barang yang sama akan menyebabkan perubahan lokasi produksi ke negara lain yang mempunyai keuntungan kompetitif lebih baik. Negara penemu bisa saja menjadi negara pengimpor ketika mereka kehilangan keuntungan kompetitif (Vernon, 1979).
Ide untuk mengekspor produk baru atau mengekspor teknologi baru untuk menghasilkan produk baru itu sendiri telah dijelaskan oleh Ibn Khaldun. Beliau menyatakan bahwa:
“If a particular craft is in demand and there are buyers for it, that craft, then, corresponds to a type of goods that is in great demand are imported for sale. People in towns, therefore are eager to learn that craft, in order to make a living through it”. (Thoha, 2009).
Kemiripan pemikiran antara Ibn Khaldun dan Vernon terletak pada inovasi yang dihasilkan dan dijual di negara asal, dengan cepat akan diekspor dan dibuat dinegara lain. Meski Ibn Khaldun tidak menyatakan siklus produk secara lengkap dengan menjelaskan bahwa jika negara penemu kehilangan keuntungan kompetitifnya, ia akan berakhir menjadi negara pengimpor, secara umum Ibn Khaldun telah mengusulkan bagian pertama, kedua dan awal bagian ketiga dari ide siklus produk melalui pengamatannya tentang adanya impor keahlian dari negara lain ke Maghreb dengan kesadaran bahwa barang tersebut telah ada dinegara asal (tahap 1 & 2), serta perpindahan produksi dikota jika penduduk mau belajar (awal tahap 3).
Dunning Eclectic Paradigm (OLI) Theory (1967)
Pada awalnya, teori ini berhubungan dengan teori produksi internasional. Teori OLI kemudian dikembangkan untuk mengaji FDI dan perdagangan internasional (Galan and Benito, 2001; Jiang, 2004; Madhok & Phene 2001).
Teori ini menyatakan bahwa perusahaan yang akan mengembangkan usahanya ke pasar luar negeri, harus memiliki tiga keuntungan, yaitu: a) The Ownership (O) advantage- yang mana harus unik dan berhubungan dengan aset, kemampuan teknologi dan keterampilan. Keuntungan ini dimiliki oleh perusahaan; b) Location (L) advantage- negara tuan rumah dimana perusahaan akan berinvestasi memiliki faktor-faktor yang kondusif untuk investasi dan perdagangan; c) The Internalization (I) advantage- merujuk pada kemampuan perusahaan untuk mengatur dan mengontrol dari dalam.
a)             The O advantage
Kembali menggunakan pernyataan Ibn Khaldun yang telah dikutip terkait keahlian sebelumnya, Ibn Khaldun sangat paham bahwa para pengrajin di negara lain mengetahui bahwa produknya akan diminta di tempat lain jika produk tersebut baru. Inilah yang disebut oleh Dunning sebagai O advantage. Beliau menggambarkan transfer teknologi dari satu negara ke negara lain, dimana penduduk lokal akan mendapatkan teknologi baru dengan cara mempelajari keterampilan baru ini.
b)            The L advantage
Ibn Khaldun menyatakan bahwa jika tempat tersebut kondusif, maka ditempat itu akan terjadi perdagangan dan perniagaan. Beliau kembali menyatakan bahwa tempat yang memiliki lingkungan kondusif yaitu:
1)        Perekonomian, ukuran pasar dan kekuatan daya beli yang sehat
2)        Kebijakan pajak dan perdagangan yang membantu
Ibn Khaldun menulis dalam bukunya:
“Known that the arbitrary appropriations by the government of men’s property results in the loss of incentives to gain when man realize that what they have accumulated will be taken away from them”.  (Issawi, 1958; pg.84)
Beliau menegaskan bahwa jika negara berkebijakan untuk mengambil alih maka akan terjadi kehilangan insentif yang mendorong kepada kemunduran dalam perusahaan. Beliau juga memperingatkan bahaya tingginya pajak yang akan berpengaruh pada (i) harga barang dan jasa dan (ii) penurunan perekonomian negara (dikenal sebagai kurva Laffer. Laffer, 2004).[2]
3)        Pengeluaran pemerintah pada kebutuhan dasar dan kebutuhan untuk melindungi bisnis; serta
Ibn Khaldun menyebutkan bahwa pengeluaran pemerintah harus dihabiskan dalam bentuk barang dan jasa sehingga uang tersebut dapat bergerak menuju masyarakat.
“… whose expenditure flows like water, fertilizing all it touches…” (Issawi, 1958; pg. 90).
4)        Pasar baru
c)             The I advantage
Faktor ini menyatakan bahwa perusahaan atau pedagang harus memiliki kontrol penuh dalam operasionalnya ketika membuka usaha di luar negeri (Dunning, 1988). Artinya, perusahaan harus benar-benar memproduksi dan atau mendistribusikan barang-barangnya sendiri ke negara lain. Akan tetapi dalam bukunya, Ibn Khaldun tidak menyebutkan apapun tentang hal ini. Dengan begitu, faktor “I” tidak ditemukan dalam Muqaddimah Ibn Khaldun karena tidak adanya indikasi FDI pada masanya. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa globalisasi pada saat itu tidak sekompleks saat ini dengan bentuk globalisasi hanya sebatas impor-ekspor.
The Evidence from Indonesian Halal Food Export
Berbagai studi menyebutkan bahwa keberadaan AFTA telah membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia melalui peningkatan ekspor (Ekanayake, Mukherjee and Veeramacheneni, 2010; Kalirajan and Singh, 2008; Yuniarti, 2008; dan Effendi 2014). Meski begitu, berdasarkan data yang dirilis oleh BPS pada tahun 2013 menunjukkan bahwa negara mitra dagang terbesar Indonesia berasal dari negara-negara diluar AFTA. Penelitian yang dilakukan oleh Effendi (2014) membuktikan secara empiris bahwa perdagangan intra-ASEAN menurun secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja perdagangan negara-negara ASEAN tidak sesuai dengan blueprint AFTA.
Sumber: BPS (2013)
Gambar 2. Indonesia Top Trading Partners, 2011 (million USD)
Mengacu kepada beberapa teori perdagangan diatas, banyak hal yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk memaksimalkan potensi perdagangannya terutama disektor makanan halal. Melalui analisis teori HO dan pemikiran Ibn Khaldun, Indonesia memiliki keunggulan absolut terhadap negara Malaysia berupa lahan dan hasil pertanian serta hasil laut yang melimpah mengingat keberadaan Indonesia sebagai negara maritim. Selain itu, ambisi Malaysia untuk menjadi pusat halal dunia terkendala dengan terbatasnya pasokan bahan mentah (Dirjen Asia Pasifik, 2007). Celah ini tentunya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dengan menyediakan supply makanan halal seperti contract farming untuk peternakan sapi, kambing, maupun ikan. Keunggulan Indonesia di bidang ini, selain Indonesia bebas dari penyakit food and mouth disease, sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia juga telah diakui oleh dunia termasuk Malaysia.
Adapun analisis product cycle theory untuk ekspor makanan halal Indonesia juga dapat diimplementasikan. Produk halal Indonesia yang telah melewati sertifikasi halal oleh LPPOM MUI saat ini diakui dunia. Hal ini dikarenakan MUI merupakan lembaga sertifikasi halal dengan standar terbaik di dunia dengan pengalamannya selama 20 tahun. Terbukti baru-baru ini 11 lembaga sertifikasi dari 11 Negara di Asia, Australia, Eropa dan AS mempelajari sertifikasi halal di Indonesia, bahkan standar sertifikasi halalnya telah diikuti dan digunakan di berbagai negara (Dr. Tjipto Subadi MSi). Indonesia dengan keuntungan kompetitif berupa kepemilikan sumber daya dan tenaga kerja, tanah yang subur sekaligus pasar yang sangat besar menjadikannya unggul baik secara absolut maupun komparatif.
Analisa teori OLI yang dimulai dengan “O” advantage dimiliki Indonesia dengan keberadaan produk khas Indonesia yang sangat banyak serta kemampuan untuk mendiversifikasi produk makanan halal (produk mentah, olahan, dll). “L” advantage Indonesia terlihat dari perekonomian, ukuran pasar dan kekuatan daya beli yang sehat dari negara mitra dagang. Sebagai contoh Perancis dengan pasar makanan halal terbesar di Eropa mencapai 17,6 milyar USD pada tahun 2010 atau mencapai 25,76% dari total nilai perdagangan Eropa. Selain itu, kebijakan pajak dan perdagangan yang membantu perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra dagang diuntungkan dengan adanya persetujuan FTA. Keunggulan ini juga didapatkan dari pemaksimalan ekspor ke Malaysia karena jaraknya yang dekat, tarif relatif murah dan terjadi supply gap dinegara tersebut. Adapun strategi untuk membuka pasar baru dapat dilakukan dengan ekspor dan pemenuhan diversifikasi produk halal ke negara-negara eropa yang merupakan kunci pertumbuhan ekonomi dunia, pemaksimalan AFTA dengan memperbaiki kinerja ekspor antar negara anggota serta memanfaatkan “I” advantage dengan membentuk kebijakan investasi asing berorientasi asing sebagaimana yang telah diterapkan oleh Malaysia untuk mendongkrak ekspor.
Untuk memudahkan pemahaman terkait analisis teori terhadap ekspor makanan halal Indonesia, berikut kerangka pemikiran yang dapat dibentuk dari pembahasan:
Sumber: Olahan Penulis
Gambar 3. Kerangka Pemikiran


III. Conclusion
Berdasarkan pemaparan latar belakang serta pembahasan masalah diatas dapat disimpulkan beberapa poin pembahasan sebagai berikut:
1.      Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah telah mengusulkan benih dari teori perdagangan internasional kontemporer meski terdapat beberapa perbedaan yang disebabkan oleh perubahan kondisi.
2.      Manfaat perdagangan internasional menurut beliau adalah memberikan kepuasan bagi penduduk, memberikan profit bagi para pedagang dan pada akhirnya meningkatkan kekayaan negara.
3.      Teori perdagangan internasional modern merupakan sintesis dari teori sebelumnya serta memiliki beberapa kesamaan dengan pemikiran ibn khaldun dalam muqaddimah, khususnya untuk HO, OLI dan product cycle theory.
4.      Dengan menginfiltrasi pemikiran Ibn Khaldun kepada ketiga teori perdagangan modern tersebut, didapat langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memajukan ekspor makanan halal di Indonesia dalam rangka mencapai tujuan wealth of nation.

 
Bibliography
Al-Qur’an Al-Kariem.
Agri-Food Trade Service Kanada. 2011. Global Halal Food Market, Mei 2011. Retrieved from http://www.ats.agr.gc.ca/inter/4352-eng.htm#i
Ahmad, Ismail dan Abdul Razak Mahmud. 2006. Ibnu Khaldun and The International Trade. Malaysia: University Teknology MARA (UiTM)
Ahmad, Imad A. 1996. An Islamic Perspective on the Wealth of Nations, Conference on “Comprehensive Development of Muslim Countries”. Minaret of Freedom Preprint Series 964
Ali, Ameer and Herb Thompson, 1999. The Schumpterian Gap and Muslim Economic Thought. The Journal of interdisciplinary Economics, 1999. Vol 10., pp31-49.
Asian Development Bank. 2013. Free Trade Agreements, Asian Development Bank. Retrieved from http://www.aric.adb.org/ftatrends.php
Beik, Irfan Syauqi dan Laily Dwi Arsyianti. 2006. Ibn Khaldun’s Contribution on Modern Economic Development: An Analysis based on Selected Economic Issues. Malaysia: International Islamic University
Boulakia, Jean David C. 1971. Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economists. Journal of Political Economy, 79:1105-18
Dirjen Asia Pasifik. 2008. Perdagangan Indonesia Malaysia. Kementrian Luar Negeri. Akses Vol 7/Desember 2007-Februari 2008
Dunning, J.H. 2000. The Eclectic Paradigm as an envelope for economic and business theories of MNE activity. International Business Review, 9:163-90.
___________. 1988. The Eclectic Paradigm of International Production.; Some Empirical Test. Journal of International Business Studies, Vol. 11, pp.9 -31.
Effendi, Yuventus. 2014. Asean Free Trade Agreement Implementation For Indonesian Trading Performance: A Gravity Model Approach. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Bol. 8 No. 1, Juli 2014
Ekanayake, E.M., A. Mukherjee and B. Veeramacheneni. (2010). Trade Blocks And The Gravity Model: A Study Of Economic Integration Among Asian Developing Countries. Journal of Economic Integration, vol.25 (4), 627643.
Galan, J.I. and Gonzalez-Benito, J (2001). Determinant Factors of Foreign Direct Investment: Some Empirical Evidence. European Business Review, Vol 13. No. 5, pp. 269-278.
Issawi, Charles (1958), An Arab Philosophy of History, Selections from the Prolegomena of Ibn Khaldun of Tunis (1332-1406), London; John Murray.
Jiang, F. (2004). Sequence of Enter Mode Decision Making Process; New Evidence From Multinational Pharmaceutical Firms’ FDI into China. Journal of Academy of Business Economics, Jan 2004.
Kalirajan, K., and K. Singh. (2008). A Comparative Analysis Of China’s And India’s Recent Export Performances. Asian Economic Papers, vol.7 (1), 128.
Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Retrieved from www.kadin-indonesia.or.id
Kemendag. 2014. Perkembangan Ekspor NonMigas (Komoditi) Periode : 2009-2014. Retrieved from http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/growth-of-non-oil-and-gas-export-commodity
Kemendag. Negara Tujuan Ekspor 10 Komoditi Utama. Retrieved from http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-commodities/10-main-commodities
Kemenperin. Perkembangan Ekspor Komoditi Makanan Ke Negara Tertentu. Retrieved from http://www.kemenperin.go.id/statistik/query_komoditi.php?komoditi=food&negara=&jenis=&action=Tampilkan
Kemenperin. Perkembangan Ekspor 31 Kelompok Hasil Industri Ke Negara Malaysia. Retrived from http://www.kemenperin.go.id/statistik/query_negara.php?negara=malaysia&jenis=
Kementrian perdagangan. Retrieved from www.kemendag.go.id
Kementrian perindustrian. Retrieved from www.kemenperin.go.id
Krugman, Paul R, Maurice Obstfeld and Marc J. Melitz. 2010. International Economics: Theory and Policy. USA: Pearson Education, Inc. Ninth Edition
Leamer, E.. 1955. The Hecksher-Ohlin Model in Theory and Practice. US: Princeton Studies in International Economics
Madhok, A. and Phene, A. (2001). The Coevolutaional Advantage: Strategic Management Theory and the Eclectic Paradigm. International of the Economics of Business, 2001, 8, pp. 243-256
Oweiss, Ibrahim M. 2003. Ibn Khaldun, Father of Economics, Iqtisad Al Islamy, Islamic World-net.
Rosenthal, Franz. 1987. Ibn Khaldun, The Muqaddimah, Introduction To History, translated and abridged. Edited by N.J. Dawood (1987), London: Rutledge & Kegan Paul Ltd,
Sofyan, Riyanto. 2011. Bisnis syariah, mengapa tidak?: pengalaman penerapan pada bisnis hotel. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Soofi, Abdol. 1995. Economics of Ibn Khaldun: Revisited, History of Political Economy. 27(2):387-404.
Suranovic, Steven M. 2004. International Trade Theory and Policy lecture Notes. Updated on 16 Sept 04.
Thoha, Ahmadie. 2009. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus. Cetakan Kedelapan
Vernon, R. 1979. The Product Cycle Hypothesis In a New International Environment. Oxford Bulletin of Economics and Statistics, Vol 4 No. 4, pp.255 – 67.
Yuniarti, D. (2008). Potensi Perdagangan Global Indonesia: Pendekatan Gravity Model. Jurnal Ekonomi, vol. 13 (2) 119130. Retrieved from http://journal.tarumanagara.ac.id/index. php/FE/article/viewArticle/553.


[1] Sebagian Besar Isi Muqaddimah Ibn Khaldun diambil dari Thoha (2009), Issawi (1958) dan Rosenthal (1987), yang merupakan buku-buku terjemahan dari Muqaddimah karena sulitnya mendapatkan buku asli beliau.
[2] Arthur Laffer dalam papernya yang berjudul “The Laffer Curve: Past, Present and Future” (2004) mengakui bahwa “Laffer Curve” sebenarnya ditemukan oleh Ibn Khaldun.

No comments:

Post a Comment