2.1. Produk Halal, Ekonomi Halal dan Pasar Global
Kata halal menurut Kamali (2003) merupakan sebuah istilah
dalam bahasa Arab yang artinya “diperbolehkan atau permissible dalam
bahasa Inggris”. Dalam bahasa Inggris, kata halal lebih sering diartikan
sebagai sesuatu yang diperbolehkan
menurut hukum islam. Sedangkan dalam bahasa Arab, kata halal mengacu pada
segala sesuatu yang diperbolehkan dalam islam.
Kata halal memiliki lawan kata yaitu “haram” yang
merupakan sebuah istilah dalam bahasa Arab dan merujuk kepada larangan atau
sesuatu yang tidak diperbolehkan (Omar dkk, 2012). Dengan begitu dapat
diartikan bahwa produk halal adalah semua produk yang sesuai dengan hukum-hukum
syariah (Shariah compliant) seperti tidak menggunakan barang-barang atau
cara yang haram, tidak melakukan eksploitasi tenaga kerja dan lingkungan, dan
juga tidak berbahaya ataupun dimaksudkan untuk penggunaan yang berbahaya. Aspek
halal dalam produk mencakup semua aspek yang dapat dikonsumsi seperti alat-alat
kecantikan, obat-obatan, kosmetik dan sebagainya. Artinya, kata halal mencakup
aspek yang sangat luas dalam subsektor industri dengan elemen dimensi
keagamaan, politik maupun keuangan.
Adapun “ekonomi
halal” yang sering dibicarakan beberapa tahun terakhir khususnya ketika The
World Halal Forum yang dilaksanakan pada akhir April 2011 lalu, mengacu
pada integrasi produksi produk halal dengan sistem keuangan Islam. Hal ini
dikarenakan industri halal hanya mencakup produk-produk yang diproduksi oleh
para pengusaha tanpa adanya Undang-undang dan peraturan khusus dan eksklusif
seperti yang terdapat dalam sistem perbankan dan keuangan Islam seperti Islamic Banking Act 1983 and Takaful Act 1984.
Dalam konteks global, halal merupakan segmen pasar yang
sedang berkembang dan terus merebut popularitas serta permintaan dari berbagai
konsumen di seluruh dunia tanpa memandang konsumen muslim maupun non-muslim
(Raihana dan Kauthar, 2014). Populasi muslim mencerminkan 25% dari total
populasi dunia dengan jumlah konsumen mencapai 2.2 Milyar (Population, 2012)
sehingga membuka kesempatan bagi produk halal untuk terus berkembang secara
global. Adapun permintaan terhadap produk makanan halal dan pasarnya terus meningkat
secara signifikan hingga mencapai $632 Milyar setiap tahunnya (Canada, 2011).
2.2. Posisi Produk Halal dan Ekonomi Islam di Indonesia
Saat ini, permintaan akan produk-produk
halal secara global terus mengalami peningkatan. Untuk Pasar Asia Tenggara,
ekspor produk halal mencapai 100 juta dolar. Jumlah ini mengalami peningkatan
100% dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya mencapai 50 juta dolar.
Sementara volume perdagangan produk halal dunia mencapai angka 200 miliar
dolar. Data lain menyebutkan bahwa industri produk halal mencapai 547
milyar dolar, dan dalam waktu dekat mencapai 1 Triliun dolar (Republika, 2014).
Menurut Irfan Sungkar, Direktur Global
Food Research and Advisory Sdn Bhd di Kuala Lumpur mengatakan bahwa pasar
produk halal di negara-negara besar di Asia, seperti Indonesia, China, Pakistan
dan India, rata-rata tumbuh sekitar tujuh persen pertahun dan diperkirakan
mencapai dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan. Untuk Indonesia sendiri
diperkirakan akan terjadi penambahan permintaan produk makanan daging halal
mencapai 1,3 juta metrik ton setahunnya (halalguide, 2007).
Melihat pasar tersebut, tentunya sertifikasi halal
merupakan suatu hal yang niscaya. Karena selain melindungi konsumen muslim di
dalam negeri, produk-produk halal Indonesia juga berpeluang memasuki pasar
ekspor dunia dan
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Untuk pasar Eropa
misalnya, produk halal asal Indonesia dinilai masih terbuka lebar. Begitu juga
dengan potensi pasar Uni Eropa yang nilainya mencapai 15 miliar Euro
(tempointeraktif, 2005), sementara ekspor produk halal Indonesia pada tahun
2004 baru mencapai US$ 54,1 miliar.
Figure
1. Halal Sectors and Global Halal Economy by Sectors
Sumber: KFH Research
Sektor halal dalam
perekonomian secara umum dibagi menjadi tiga sektor seperti yang terlihat dalam
Figure 1. Indonesia yang menganut sistem perekonomian ganda, yaitu
sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi Islam, telah terbukti unggul
dalam sektor keuangan hingga menjadi primadona investasi Asia. Namun sangat
disayangkan, pengembangan produk halal di Indonesia masih terfokus pada sektor keuangan yaitu
perbankan, asuransi dan juga pasar modal. Fakta ini diperparah dengan data
ekonomi halal dunia yang juga didominasi oleh sektor keuangan Islam (US$ 3.91
Trilliun), disusul oleh produk makanan halal (US$ 1.6T), pakaian Muslim (US$ 0.32T), rekreasi (US$ 0.21T), pariwisata (US$
0.18T) dan obat-obatan/ kosmetik dengan nilai terendah sebesar 0.14 Trilliun.
Ekonomi syariah dikembangkan dalam rangka mengakomodasi kebutuhan
masyarakat, khususnya umat Islam yang ingin bertransaksi, berinvestasi,
dan memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan prinsip syariah. Seiring dengan
semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk bermuamalat sesusai syariah,
kegiatan ekonomi syariah terutama dalam 20 tahun terakhir tumbuh secara
signifikan, baik dari sisi kelembagaan, regulasi, maupun bisnis (Republik
Online, 2014).
Dari sisi kelembagaan, berdiri berbagai lembaga keuangan
syariah (LKS), mulai dari perbankan, asuransi, re-asuransi, lembaga pembiayaan,
pasar modal, reksadana, lembaga penjaminan, koperasi syariah, BMT, dan lembaga
wakaf. Dan dari sisi kelembagaan ini, Indonesia yang paling banyak dan variatif
di dunia.
Dari sisi regulasi, lahir sejumlah peraturan
perundang-undangan di bidang ekonomi syariah, seperti UU Perbankan Syariah, UU
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Peraturan Bank Indonesia (PBI), dan Surat
Edaran BI yang terkait dengan Perbankan Syariah, Peraturan Jasa Koperasi
Keuangan Syariah, Peraturan Menteri Keuangn (PMK) yang terkait dengan Lembaga
Keuangan Syariah (LKS), Peraturan OJK, dan juga berbagai fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) MUI.
Dari sisi bisnis, perbankan syariah di Indonesia tumbuh
sekitar 30-40 persen yoy, sementara perbankan konvesional berkisar 18-21
persen per tahun. Asuransi syariah tumbuh sekitar 45 persen yoy dan
pembiayaan syariah tumbuh 27,22 persen yoy. Nilai kapitalisasi pasar saham
syariah mencapai Rp 2.618,1 triliun atau 58,4 persen dari kapitalisasai pasar
BEI dan sampai Oktober 2013 mencapai Rp 4.485 triliun (OJK, 10 Desember
2013). Total penerbitan sukuk negara (SBSN) sampai Juli 2014 telah mencapai Rp
233,1 triliun (Kemenkeu, 15 Juli 2014) dan menjadi salah satu sumber
potensial pembiayaan APBN- untuk menutup defisit APBN.
Namun demikian, pangsa pasar (market share) ekonomi syariah di Indonesia masih
rendah. Untuk perbankan baru sekitar 4,9 persen dari industri perbankan
nasional. Demikian pula market share industri keuangan syariah non-bank masih
berkisar 3,01 persen meski potensi ekonomi syariah di Indonesia sangat besar.
2.3.Perkembangan Jaminan Produk Halal di Indonesia
Perhatian pemerintah Indonesia terhadap produk halal
terlihat dari disahkannya Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal yang
secara umum mencakup pengaturan tentang penyelenggaraan JPH, bahan dan proses
produk halal, tata cara mendapatkan sertifikasi, peran serta masyarakat hingga
pidana bagi yang melanggar. UU ini hadir atas pertimbangan bahwa jaminan
terhadap produk halal belum diatur secara
komprehensif dan belum menjamin kepastian hukum.
Pengaturan tentang kehalalan suatu produk sebenarnya
telah ada, yakni Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
serta Peraturan Pemerintah
Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Pada Pasal 30 ayat (1), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan disebutkan setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam
wilayah Indonesia makanan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan
label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Pada ayat (2) disebutkan Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
sekurang kurangnya keterangan mengenai : a) Nama produk; b) Daftar bahan yang digunakan; c) Berat bersih atau isi bersih; d) Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau
memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e) Keterangan tentang halal; dan f) Tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, diatur dalam Pasal 8 mengenai kewajiban pengusaha yang
antara lain adalah: a) beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya; b) memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa
serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Secara teknis tentang pencantuman label ‘’halal’’
Departemen Kesehatan telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor:
82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Dalam
lampiran SK tersebut yakni pada Bab V tentang Persyaratan higienis pengolahan telah dijelaskan aturan-aturan
baku dalam proses pembuatan makanan halal dan persyaratan higienis pengolahan
makanan menurut syariat Islam.
Ketetapan tersebut kemudian dirubah menjadi Surat
Keputusan Nomor:
924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI
No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan ‘’halal’’ pada Label
Makanan, dimana pada Pasal 8 disebutkan Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan
pencantuman tulisan ‘’halal’’ wajib siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan
dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan yang ditunjuk Direktur Jenderal.
Pada tahun
2001 Departemen Agama juga mengeluarkan
Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Dalam Surat Keputusan Menteri Agama tersebut menetapkan bahwa
Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal adalah
Majelis Ulama Indonesia melalui LPPOM-MUI.
No comments:
Post a Comment