Oct 20, 2014

Jaminan Produk Halal: Sebuah Potensi Pengembangan Produk Halal dan Ekonomi Islam di Indonesia (Part 2)

2.      Landasan Teori

2.1. Produk Halal, Ekonomi Halal dan Pasar Global

Kata halal menurut Kamali (2003) merupakan sebuah istilah dalam bahasa Arab yang artinya “diperbolehkan atau permissible dalam bahasa Inggris”. Dalam bahasa Inggris, kata halal lebih sering diartikan sebagai  sesuatu yang diperbolehkan menurut hukum islam. Sedangkan dalam bahasa Arab, kata halal mengacu pada segala sesuatu yang diperbolehkan dalam islam.
Kata halal memiliki lawan kata yaitu “haram” yang merupakan sebuah istilah dalam bahasa Arab dan merujuk kepada larangan atau sesuatu yang tidak diperbolehkan (Omar dkk, 2012). Dengan begitu dapat diartikan bahwa produk halal adalah semua produk yang sesuai dengan hukum-hukum syariah (Shariah compliant) seperti tidak menggunakan barang-barang atau cara yang haram, tidak melakukan eksploitasi tenaga kerja dan lingkungan, dan juga tidak berbahaya ataupun dimaksudkan untuk penggunaan yang berbahaya. Aspek halal dalam produk mencakup semua aspek yang dapat dikonsumsi seperti alat-alat kecantikan, obat-obatan, kosmetik dan sebagainya. Artinya, kata halal mencakup aspek yang sangat luas dalam subsektor industri dengan elemen dimensi keagamaan, politik maupun keuangan.
Adapun “ekonomi halal” yang sering dibicarakan beberapa tahun terakhir khususnya ketika The World Halal Forum yang dilaksanakan pada akhir April 2011 lalu, mengacu pada integrasi produksi produk halal dengan sistem keuangan Islam. Hal ini dikarenakan industri halal hanya mencakup produk-produk yang diproduksi oleh para pengusaha tanpa adanya Undang-undang dan peraturan khusus dan eksklusif seperti yang terdapat dalam sistem perbankan dan keuangan Islam seperti Islamic Banking Act 1983 and Takaful Act 1984.
Dalam konteks global, halal merupakan segmen pasar yang sedang berkembang dan terus merebut popularitas serta permintaan dari berbagai konsumen di seluruh dunia tanpa memandang konsumen muslim maupun non-muslim (Raihana dan Kauthar, 2014). Populasi muslim mencerminkan 25% dari total populasi dunia dengan jumlah konsumen mencapai 2.2 Milyar (Population, 2012) sehingga membuka kesempatan bagi produk halal untuk terus berkembang secara global. Adapun permintaan terhadap produk makanan halal dan pasarnya terus meningkat secara signifikan hingga mencapai $632 Milyar setiap tahunnya (Canada, 2011).

2.2. Posisi Produk Halal dan Ekonomi Islam di Indonesia

Saat ini, permintaan akan produk-produk halal secara global terus mengalami peningkatan. Untuk Pasar Asia Tenggara, ekspor produk halal mencapai 100 juta dolar. Jumlah ini mengalami peningkatan 100% dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya mencapai 50 juta dolar.  Sementara volume perdagangan produk halal dunia mencapai angka 200 miliar dolar. Data lain menyebutkan bahwa industri produk halal  mencapai 547 milyar dolar, dan  dalam waktu dekat mencapai 1 Triliun dolar (Republika, 2014).
Menurut Irfan Sungkar, Direktur Global Food Research and Advisory Sdn Bhd di Kuala Lumpur mengatakan bahwa pasar produk halal di negara-negara besar di Asia, seperti Indonesia, China, Pakistan dan India, rata-rata tumbuh sekitar tujuh persen pertahun dan diperkirakan mencapai dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan. Untuk Indonesia sendiri diperkirakan akan terjadi penambahan permintaan produk makanan daging halal mencapai 1,3 juta metrik ton setahunnya (halalguide, 2007).
Melihat pasar tersebut, tentunya sertifikasi halal merupakan suatu hal yang niscaya. Karena selain melindungi konsumen muslim di dalam negeri, produk-produk halal Indonesia juga berpeluang memasuki pasar ekspor dunia dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Untuk pasar Eropa misalnya, produk halal asal Indonesia dinilai masih terbuka lebar. Begitu juga dengan potensi pasar Uni Eropa yang nilainya mencapai 15 miliar Euro (tempointeraktif, 2005), sementara ekspor produk halal Indonesia pada tahun 2004 baru mencapai US$ 54,1 miliar.
Figure 1. Halal Sectors and Global Halal Economy by Sectors
Sumber: KFH Research
Sektor halal dalam perekonomian secara umum dibagi menjadi tiga sektor seperti yang terlihat dalam Figure 1. Indonesia yang menganut sistem perekonomian ganda, yaitu sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi Islam, telah terbukti unggul dalam sektor keuangan hingga menjadi primadona investasi Asia. Namun sangat disayangkan, pengembangan produk halal di Indonesia masih terfokus pada sektor keuangan yaitu perbankan, asuransi dan juga pasar modal. Fakta ini diperparah dengan data ekonomi halal dunia yang juga didominasi oleh sektor keuangan Islam (US$ 3.91 Trilliun), disusul oleh produk makanan halal (US$ 1.6T), pakaian Muslim (US$ 0.32T), rekreasi (US$ 0.21T), pariwisata (US$ 0.18T) dan obat-obatan/ kosmetik dengan nilai terendah sebesar 0.14 Trilliun.
Ekonomi syariah dikembangkan dalam rangka mengakomodasi kebutuhan masyarakat, khususnya  umat Islam yang ingin bertransaksi, berinvestasi, dan memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan prinsip syariah. Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk bermuamalat sesusai syariah, kegiatan ekonomi syariah terutama dalam 20 tahun terakhir tumbuh secara signifikan, baik dari sisi kelembagaan, regulasi, maupun bisnis (Republik Online, 2014).
Dari sisi kelembagaan, berdiri berbagai lembaga keuangan syariah (LKS), mulai dari perbankan, asuransi, re-asuransi, lembaga pembiayaan, pasar modal, reksadana, lembaga penjaminan, koperasi syariah, BMT, dan lembaga wakaf. Dan dari sisi kelembagaan ini,  Indonesia yang paling banyak dan variatif di dunia.
Dari sisi regulasi, lahir sejumlah peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi syariah, seperti UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Peraturan Bank Indonesia (PBI), dan Surat Edaran BI yang terkait dengan Perbankan Syariah, Peraturan Jasa Koperasi Keuangan Syariah, Peraturan Menteri Keuangn (PMK) yang terkait dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS), Peraturan OJK, dan juga berbagai fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.
Dari sisi bisnis, perbankan syariah di Indonesia tumbuh sekitar 30-40 persen yoy, sementara perbankan konvesional berkisar 18-21 persen  per tahun. Asuransi syariah tumbuh sekitar 45 persen yoy dan pembiayaan syariah tumbuh 27,22 persen yoy. Nilai kapitalisasi pasar saham syariah mencapai Rp 2.618,1 triliun atau 58,4 persen dari kapitalisasai pasar BEI dan sampai Oktober 2013 mencapai Rp 4.485 triliun  (OJK, 10 Desember 2013). Total penerbitan sukuk negara (SBSN) sampai Juli 2014 telah mencapai Rp 233,1 triliun (Kemenkeu, 15 Juli 2014) dan  menjadi salah satu sumber potensial pembiayaan APBN- untuk menutup defisit APBN.
Namun demikian, pangsa pasar (market share) ekonomi syariah di Indonesia masih rendah. Untuk perbankan baru sekitar 4,9 persen dari industri perbankan nasional. Demikian pula market share industri keuangan syariah non-bank masih berkisar 3,01 persen meski potensi ekonomi syariah di Indonesia sangat besar.

2.3.Perkembangan Jaminan Produk Halal di Indonesia

Perhatian pemerintah Indonesia terhadap produk halal terlihat dari disahkannya Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal yang secara umum mencakup pengaturan tentang penyelenggaraan JPH, bahan dan proses produk halal, tata cara mendapatkan sertifikasi, peran serta masyarakat hingga pidana bagi yang melanggar. UU ini hadir atas pertimbangan bahwa jaminan terhadap produk halal belum  diatur  secara  komprehensif  dan  belum menjamin kepastian hukum.
Pengaturan tentang kehalalan suatu produk sebenarnya telah ada, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 8  Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Pada Pasal 30 ayat (1), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia makanan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Pada ayat (2) disebutkan Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang kurangnya keterangan mengenai : a) Nama produk; b) Daftar bahan yang digunakan; c) Berat bersih atau isi bersih; d) Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e) Keterangan tentang halal; dan f) Tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur dalam Pasal 8 mengenai kewajiban pengusaha yang antara lain adalah: a) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Secara teknis tentang pencantuman label ‘’halal’’ Departemen Kesehatan telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Dalam lampiran SK tersebut yakni pada Bab V tentang Persyaratan higienis  pengolahan telah dijelaskan aturan-aturan baku dalam proses pembuatan makanan halal dan persyaratan higienis pengolahan makanan menurut syariat Islam.
Ketetapan tersebut kemudian dirubah menjadi Surat Keputusan Nomor: 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan ‘’halal’’ pada Label Makanan, dimana pada Pasal 8 disebutkan Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan ‘’halal’’ wajib siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk Direktur Jenderal.
Pada tahun 2001 Departemen Agama  juga mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Dalam Surat Keputusan Menteri Agama tersebut menetapkan bahwa Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal adalah Majelis Ulama Indonesia melalui LPPOM-MUI.

No comments:

Post a Comment