3. Analisis dan Pembahasan
3.1.
Potensi Kemajuan Ekonomi Islam
Dua faktor penting penentu kemajuan ekonomi halal adalah faktor
permintaan dan faktor penawaran dari produk halal itu sendiri (KFH Research,
2014). Dari sisi permintaan, potensi yang dimiliki Indonesia dan dunia adalah
besarnya populasi Muslim, banyaknya populasi muda dan pertumbuhan populasi yang
sangat cepat.
Table 2.
Top Muslim Spending
Sumber:
KFH Research
Masyarakat
Ekonomi Syariah (MES) menyebutkan, total nilai transaksi produk makanan halal di Asia mencapai US$ 400 miliar, jauh
lebih besar dibandingkan di benua lainnya. Hal tersebut karena benua ini
memiliki populasi Umat Islam yang sangat besar (liputan6, 2013). Namun
dibanding dengan negera tetangga, kemampuan Indonesia masih sangat minim.
Pada
tahun 2011 lalu, nilai ekspor produk halal Thailand telah mencapai lebih dari
US$ 5 miliar, sementara omset ekspor produk halal Malaysia
mencapai US$ 1,1 miliar. Akan tetapi dengan besarnya populasi muslim Indonesia
hanya dapat mengekspor produk halal ke Malaysia dan Thailand sebesar US$ 200
juta.
Indonesia
juga sejatinya menguasai potensi pasar halal yang kedua yakni pakaian muslim.
Hal ini terlihat dari data yang disampaikan oleh MES bahwa dalam Hijab Festival
I yang diselenggarakan di Bandung selama empat hari mampu mencetak keuntungan
sebesar Rp 3 Milyar. Strategi penjualan tidak hanya terbatas di toko fisik
tetapi juga menggunakan pola daring dengan target utama konsumen di usia 20
tahunan (Metrotvnews, 2013).
Selain itu, adanya
biaya sertifikasi yang ditetapkan dalam UU JPH juga dapat dimanfaatkan golek
perbankan syariah dengan memberikan jaminan biaya melalui kerja sama dengan
para pelaku usaha. Kerja sama ini akan menguntungkan kedua belah pihak sehingga
para pelaku usaha dapat mengantisipasi kebutuhan dana dan bank syariah dapat
menyelesaikan masalah kurangnya transaksi profit and loss sharing (mudharabah)
yang sejatinya merupakan identitas bank syariah.
Selama ini perkembangan ekonomi
syariah di Indonesia lebih banyak didorong oleh masyarakat (buttom-up) dan
peran pemerintah dirasakan masih kurang. Berdasarkan pengalaman beberapa negara
di mana ekonomi syariahnya tumbuh secara meyakinkan dan pangsa pasarnya cukup
besar, seperti Malaysia, Arab Saudi, Iran, dan UEA, peran dan kebijakan
pemerintahnya sangat nyata mendorong perkembangan ekonomi syariah.
Pengesahan UU JPH menjadi harapan baru perkembangan
ekonomi syariah di Indonesia karena selain menggenjot permintaan terhadap
produk halal yang secara signifikan juga akan meningkatkan pangsa produk halal,
UU ini juga memberikan rasa aman dan terlindungi dalam mengkonsumsi suatu
produk. Selain itu, UU ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menyadari bahwa
peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi syariah yang
sangat menjanjikan. Seiring meningkatnya industri halal, maka industri syariah juga akan meningkat. Dengan begitu
ekonomi syariah juga akan menguat karena kedua hal tersebut berjalan beriringan.
3.2. Respon Pelaku Usaha Terhadap Tren Jaminan Produk Halal di
Indonesia
Berdasarkan
Undang-Undang baru mengenai Jaminan Produk Halal, terdapat perbedaan yang signifikan
dibandingkan dengan sistem Sertifikasi Halal sebelumnya. Perbedaan yang mendasar adalah lembaga yang
menyelenggarakan proses sertifikasi bukan lagi MUI, melainkan telah dibentuk
suatu lembaga yang lebih terintegrasi dan terpadu oleh pemerintah disebut
BNP2H. MUI hanyalah sebagai penetap fatwa halal atau haramnya suatu produk.
BNP2H dalam memutuskan dan menyelenggarakan proses sertifikasi dan lain-lainnya
bertolak kepada dasar-dasar yang ditetapkan MUI.
Sistem
Jaminan Produk Halal memiliki regulasi yang dinilai lebih kompleks oleh
beberapa pihak, terutama para Pelaku Usaha. Dalam suatu forum, mereka
menyatakan keberatan atas ketentuan
sertifikasi halal. Terlebih lagi proses sertifikasi dinilai
lebih rumit, yang tentunya akan menambah biaya bagi perusahaan. Biaya yang
dibebankan atas proses sertifikasi dinilai tidak jelas dan dicurigai hanya
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sehingga dinilai merugikan Pelaku Usaha. Jika diteliti lebih lanjut, Sistem Jaminan Produk
Halal ini tidak merugikan Pelaku Usaha sama sekali, terdapat hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan antara Pelaku Usaha dan Konsumen, yang ditengahi oleh Sistem Jaminan Produk Halal.
Dalam UU Jaminan Produk Halal, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 19 Pelaku
Usaha dibebankan biaya dalam proses sertifikasi. Namun, terdapat
pengecualian untuk pengusaha kecil dan mikro, yang tidak dikenakan beban biaya.
Biaya proses sertifikasi akan dimasukkan dalam penerimaan negara pada sisi
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang kemudian akan dialokasikan pada Anggaran
Pendapatan Belanja Negara.
Dalam pasal 18 UU tentang JPH disebutkan
bahwa pelaku usaha harus mengajukan permohonan kepada Menteri Agama untuk
mengajukan sertifikat halal. Surat
permohonan itu dilengkapi lampiran mengenai data perusahaan, nama dan jenis
produk yang digunakan; dan proses pengolahan produk secara singkat.
Hal ini tentunya akan menghilangkan peran
LPPOM MUI sebagai lembaga sertifikasi halal paling standar dan terbaik di dunia
dengan pengalamannya selama 20 tahun. Terbukti baru-baru ini 11 lembaga sertifikasi
dari 11 Negara di Asia, Australia, Eropa dan AS telah belajar soal sertifikasi
halal, bahkan standar sertifikasi halalnya telah diikuti dan digunakan di
berbagai negara. Sedangkan tahun lalu sebanyak 100 peserta dari berbagai negara
mengikuti pelatihan sertifikasi halal di LPPOM MUI. (Dr. Tjipto Subadi MSi).
Selain kelemahan diatas, JPH juga memiliki
kelebihan yang menguntungkan masyarakat. Dengan regulasi jaminan kehalalan
produk itu, produsen dan konsumen tidak merasa ragu-ragu lagi dalam memasarkan
dan mengonsumsi sebuah produk. Sebelumnya, produk yang beredar di Indonesia
masih sangat sedikit yang diberi label halal dan masih
menimbulkan keraguan karena tidak ada jaminan kehalalan dari lembaga resmi.
Data Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) Indonesia pada
tahun 2005 menunjukkan bahwa tidak
lebih dari 2.000
produk yang telah
meminta pencantuman tanda halal. Data dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan bahwa
permohonan sertifikasi halal
selama 11 tahun terakhir tidak lebih 8.000 produk dari
870 produsen di Indonesia (Kemenkumham, 2011).
Sedikitnya pelabelan tersebut dikarenakan
selama ini pelaku usaha terutama yang tergolong usaha
mikro dan kecil (UMK) enggan mendaftarkan produknya untuk mendapatkan label
halal karena menemui kendala dengan harus menempuh birokrasi cukup panjang
serta mengeluarkan biaya cukup tinggi. Karenanya, muncul kemungkinan beredarnya
produk berlabel halal palsu yakni label kehalalan yang dipasang tanpa proses
sertifikasi.
Dengan terbitnya UU JPH, permohonan
sertifikat itu dinyatakan bebas biaya bagi para pelaku usaha yang termasuk ke
dalam sektor mikro kecil. Semua pelaku usaha diharuskan mengajukan sertifikasi
produknya tanpa dibebani biaya apapun. Lembaga penjamin kehalalan tidak boleh
memungut biaya pelabelan halal. Semua pembiayaan didukung APBN, APBD, dan
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Hal itu
ditetapkan secara regulasi untuk mendorong pengusaha memeriksakan produknya ke
BPJPH.
3.3.
Pemetaan dan Strategi Meraih Pasar Produk Halal
Hal yang
sangat penting dalam rangka mengembangkan pasar produk halal adalah memetakan
potensi dan menentukan strategi yang tepat untuk meraih pasar produk halal.
Pemetaan potensi pasar produk halal dapat dilakukan dengan melakukan analisis
SWOT yaitu menentukan aspek Strenght, Weekness, Opportunity dan Treat
atau aspek kekuatan (potensi), kelemahan, kesempatan (peluang) dan ancaman
(saingan).
Kekuatan
yang dimiliki oleh pasar Indonesia adalah dari sisi permintaan sebagai berkah
dari jumlah populasi muslim yang sangat besar. menurut penelitian Islamic Finance angka
transaksi produk halal dalam taraf global mengalami
peningkatan hingga 623 miliar
dolar AS. Jika
penduduk muslim di dunia
berjumlah sekitar 1,6
miliar; maka potensi
transaksi produk halal di
Indonesia dengan jumlah penduduk muslim berkisar 202 juta jiwa, tidak kurang
dari 12,5 persen.
Selain itu,
kekuatan lain yang dimiliki oleh Indonesia adalah preferensi masyarakatnya
untuk mengonsumsi produk halal sangat tinggi. Dalam suatu
hasil survei, yang
dilakukan oleh Yayasan Halalan Thayyiban dan LPOM MUI (2000)
menunjukkan bahwa konsumen Indonesia
memang sangat mempertimbangkan aspek
kehalalan suatu produk; baik
makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan. Sebanyak 77,6
persen responden menjadikan
halal sebagai pertimbangan, dan
93,9 persen setuju
jika kemasan produk bersertifikat halal, wajib dicantumkan
label halal dan nomor sertifikat halal.
Adapun kelemahan
yang dimiliki Indonesia adalah belum tertatanya proses dan sistem jaminan halal
(SJH) suatu produk secara reintegrasi sehingga nilai transaksi belum optimal.
Dengan dukungan pemerintah yang secara konsisten mengontrol dan mengawasi SJH
produk secara perlahan produk halal Indonesia kini mulai diminati oleh
mancanegara.
Kesempatan yang
dimiliki Indonesia untuk mengembangkan pasar halal sangat tinggi. Beberapa
kesempatan tersebut diantaranya adalah pengembangan kawasan produk halal yang
kini tengah dibahas oleh pemerintah. Dengan adanya kawasan industri halal,
dengan sendirinya produk-produk yang diperdagangkan akan memenuhi kriteria dan
spesifikasi yang diinginkan oleh pasar internasional karena tidak akan ada
produk yang dapat keluar-masuk kawasan jika tidak memenuhi standar.
Adapun kesempatan lain yang
dimiliki Indonesia adalah pasar pakaian muslim khususnya hijab yang mendapat
respons positif dipasar internasional, khususnya Malaysia dan Singapura. Senior
Supervisor Retail Pasar Baru Adolf Wuwungan menjelaskan, sepanjang Desember ini
perputaran transaksi di PBTC diperkirakan menembus Rp 4 miliar-Rp 5 miliar per
hari. Selain transaksi lokal menjelang Natal dan Tahun Baru, kondisi ini juga
didorong peningkatan kunjungan konsumen dan pembeli besar asal Malaysia yang
dua bulan terakhir tercatat tumbuh lebih dari 20 persen (Kompas, Okt 2014).
Ancaman yang nyata dari pengembangan
produk adalah keengganan para pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal
karenanya sulitnya birokrasi dan biaya yang ditentukan dalam proses. Hal ini
menjadi masalah utama yang harus dihadapi pelaku pasar Indonesia karena dunia
internasional saat ini sangat memandang standar halal suatu produk. Dengan
begitu, mata internasional saat ini terpikat pada Malaysia yang telah fokus
dalam pengembangan SJH produk. Untuk mendapatkan perhatian pasar internasional
Indonesia perlu berusaha cukup keras untuk memperbaiki SJH dan mendorong para
pelaku usaha untuk mendaftarkan produknya.
Strategi yang bisa diterapkan para
pengusaha untuk mengembangkan produknya adalah dengan mengenali permasalahan
yang dihadapi masing-masing, kemudian berupaya menyediakan produk halal yang
berkualitas, mendekatkan produk tersebut kepada konsumen, menambah pengetahuan
tentang perilaku konsumen yang mendalam dan terpenting menjaga kepercayaan atas
kehalalan produknya. Faktor-faktor tersebutlah yang mempengaruhi keputusan
konsumen untuk mengonsumsi produk halal. Di samping daya beli yang juga
menentukan, memberikan pelayanan total yang menjadi kebutuhan konsumen Muslim
sesuai aturan Islam tidak boleh diabaikan. Singkatnya, pengusaha harus senantiasa
mengetahui perkembangan informasi guna merebut peluang yang tengah meledak di
sektor halal ini.
No comments:
Post a Comment