Oct 20, 2014

Jaminan Produk Halal: Sebuah Potensi Pengembangan Produk Halal dan Ekonomi Islam di Indonesia (Part 3)

3.      Analisis dan Pembahasan

3.1. Potensi Kemajuan Ekonomi Islam
Dua faktor penting penentu kemajuan ekonomi halal adalah faktor permintaan dan faktor penawaran dari produk halal itu sendiri (KFH Research, 2014). Dari sisi permintaan, potensi yang dimiliki Indonesia dan dunia adalah besarnya populasi Muslim, banyaknya populasi muda dan pertumbuhan populasi yang sangat cepat.
Table 2. Top Muslim Spending
Sumber: KFH Research
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) menyebutkan, total nilai transaksi produk makanan halal di Asia mencapai US$ 400 miliar, jauh lebih besar dibandingkan di benua lainnya. Hal tersebut karena benua ini memiliki populasi Umat Islam yang sangat besar (liputan6, 2013). Namun dibanding dengan negera tetangga, kemampuan Indonesia masih sangat minim.
Pada tahun 2011 lalu, nilai ekspor produk halal Thailand telah mencapai lebih dari US$ 5 miliar, sementara omset ekspor produk halal Malaysia mencapai US$ 1,1 miliar. Akan tetapi dengan besarnya populasi muslim Indonesia hanya dapat mengekspor produk halal ke Malaysia dan Thailand sebesar US$ 200 juta.
Indonesia juga sejatinya menguasai potensi pasar halal yang kedua yakni pakaian muslim. Hal ini terlihat dari data yang disampaikan oleh MES bahwa dalam Hijab Festival I yang diselenggarakan di Bandung selama empat hari mampu mencetak keuntungan sebesar Rp 3 Milyar. Strategi penjualan tidak hanya terbatas di toko fisik tetapi juga menggunakan pola daring dengan target utama konsumen di usia 20 tahunan (Metrotvnews, 2013).
Selain itu, adanya biaya sertifikasi yang ditetapkan dalam UU JPH juga dapat dimanfaatkan golek perbankan syariah dengan memberikan jaminan biaya melalui kerja sama dengan para pelaku usaha. Kerja sama ini akan menguntungkan kedua belah pihak sehingga para pelaku usaha dapat mengantisipasi kebutuhan dana dan bank syariah dapat menyelesaikan masalah kurangnya transaksi profit and loss sharing (mudharabah) yang sejatinya merupakan identitas bank syariah.
Selama ini perkembangan ekonomi syariah di Indonesia lebih banyak didorong oleh masyarakat (buttom-up) dan peran pemerintah dirasakan masih kurang. Berdasarkan pengalaman beberapa negara di mana ekonomi syariahnya tumbuh secara meyakinkan dan pangsa pasarnya cukup besar, seperti Malaysia, Arab Saudi, Iran, dan UEA, peran dan kebijakan pemerintahnya sangat nyata mendorong perkembangan ekonomi syariah.
Pengesahan UU JPH menjadi harapan baru perkembangan ekonomi syariah di Indonesia karena selain menggenjot permintaan terhadap produk halal yang secara signifikan juga akan meningkatkan pangsa produk halal, UU ini juga memberikan rasa aman dan terlindungi dalam mengkonsumsi suatu produk. Selain itu, UU ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menyadari bahwa peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi syariah yang sangat menjanjikan. Seiring meningkatnya industri halal, maka industri syariah juga akan meningkat. Dengan begitu ekonomi syariah juga akan menguat karena kedua hal tersebut berjalan beriringan.
3.2. Respon Pelaku Usaha Terhadap Tren Jaminan Produk Halal di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang baru mengenai Jaminan Produk Halal, terdapat perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan sistem Sertifikasi Halal sebelumnya. Perbedaan yang mendasar adalah lembaga yang menyelenggarakan proses sertifikasi bukan lagi MUI, melainkan telah dibentuk suatu lembaga yang lebih terintegrasi dan terpadu oleh pemerintah disebut BNP2H. MUI hanyalah sebagai penetap fatwa halal atau haramnya suatu produk. BNP2H dalam memutuskan dan menyelenggarakan proses sertifikasi dan lain-lainnya bertolak kepada dasar-dasar yang ditetapkan MUI.
Sistem Jaminan Produk Halal memiliki regulasi yang dinilai lebih kompleks oleh beberapa pihak, terutama para Pelaku Usaha. Dalam suatu forum, mereka menyatakan keberatan atas ketentuan sertifikasi halal. Terlebih lagi proses sertifikasi dinilai lebih rumit, yang tentunya akan menambah biaya bagi perusahaan. Biaya yang dibebankan atas proses sertifikasi dinilai tidak jelas dan dicurigai hanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sehingga dinilai merugikan Pelaku Usaha. Jika diteliti lebih lanjut, Sistem Jaminan Produk Halal ini tidak merugikan Pelaku Usaha sama sekali, terdapat hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara Pelaku Usaha dan Konsumen, yang ditengahi oleh Sistem Jaminan Produk Halal.
Dalam UU Jaminan Produk Halal, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 19 Pelaku Usaha dibebankan biaya dalam proses sertifikasi. Namun, terdapat pengecualian untuk pengusaha kecil dan mikro, yang tidak dikenakan beban biaya. Biaya proses sertifikasi akan dimasukkan dalam penerimaan negara pada sisi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang kemudian akan dialokasikan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Dalam pasal 18 UU tentang JPH disebutkan bahwa pelaku usaha harus mengajukan permohonan kepada Menteri Agama untuk mengajukan sertifikat halal. Surat permohonan itu dilengkapi lampiran mengenai data perusahaan, nama dan jenis produk yang digunakan; dan proses pengolahan produk secara singkat.
Hal ini tentunya akan menghilangkan peran LPPOM MUI sebagai lembaga sertifikasi halal paling standar dan terbaik di dunia dengan pengalamannya selama 20 tahun. Terbukti baru-baru ini 11 lembaga sertifikasi dari 11 Negara di Asia, Australia, Eropa dan AS telah belajar soal sertifikasi halal, bahkan standar sertifikasi halalnya telah diikuti dan digunakan di berbagai negara. Sedangkan tahun lalu sebanyak 100 peserta dari berbagai negara mengikuti pelatihan sertifikasi halal di LPPOM MUI. (Dr. Tjipto Subadi MSi).
Selain kelemahan diatas, JPH juga memiliki kelebihan yang menguntungkan masyarakat. Dengan regulasi jaminan kehalalan produk itu, produsen dan konsumen tidak merasa ragu-ragu lagi dalam memasarkan dan mengonsumsi sebuah produk. Sebelumnya, produk yang beredar di Indonesia masih sangat sedikit yang diberi label halal dan masih menimbulkan keraguan karena tidak ada jaminan kehalalan dari lembaga resmi.
Data Badan Pengawasan Obat dan  Makanan  (BPOM)  Indonesia  pada  tahun  2005  menunjukkan bahwa  tidak  lebih  dari  2.000  produk  yang  telah  meminta pencantuman tanda halal. Data dari Majelis Ulama  Indonesia (MUI) menunjukkan  bahwa  permohonan  sertifikasi  halal  selama  11  tahun terakhir tidak lebih 8.000 produk dari 870 produsen di Indonesia (Kemenkumham, 2011).
Sedikitnya pelabelan tersebut dikarenakan selama ini pelaku usaha terutama yang tergolong usaha mikro dan kecil (UMK) enggan mendaftarkan produknya untuk mendapatkan label halal karena menemui kendala dengan harus menempuh birokrasi cukup panjang serta mengeluarkan biaya cukup tinggi. Karenanya, muncul kemungkinan beredarnya produk berlabel halal palsu yakni label kehalalan yang dipasang tanpa proses sertifikasi.
Dengan terbitnya UU JPH, permohonan sertifikat itu dinyatakan bebas biaya bagi para pelaku usaha yang termasuk ke dalam sektor mikro kecil. Semua pelaku usaha diharuskan mengajukan sertifikasi produknya tanpa dibebani biaya apapun. Lembaga penjamin kehalalan tidak boleh memungut biaya pelabelan halal. Semua pembiayaan didukung APBN, APBD, dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Hal itu ditetapkan secara regulasi untuk mendorong pengusaha memeriksakan produknya ke BPJPH.
3.3. Pemetaan dan Strategi Meraih Pasar Produk Halal
Hal yang sangat penting dalam rangka mengembangkan pasar produk halal adalah memetakan potensi dan menentukan strategi yang tepat untuk meraih pasar produk halal. Pemetaan potensi pasar produk halal dapat dilakukan dengan melakukan analisis SWOT yaitu menentukan aspek Strenght, Weekness, Opportunity dan Treat atau aspek kekuatan (potensi), kelemahan, kesempatan (peluang) dan ancaman (saingan).
Kekuatan yang dimiliki oleh pasar Indonesia adalah dari sisi permintaan sebagai berkah dari jumlah populasi muslim yang sangat besar. menurut  penelitian Islamic  Finance angka  transaksi  produk  halal dalam taraf global mengalami peningkatan hingga  623  miliar  dolar  AS.  Jika  penduduk  muslim  di dunia  berjumlah  sekitar  1,6  miliar;  maka  potensi  transaksi  produk halal di Indonesia dengan jumlah penduduk muslim berkisar 202 juta jiwa, tidak kurang dari 12,5 persen.
Selain itu, kekuatan lain yang dimiliki oleh Indonesia adalah preferensi masyarakatnya untuk mengonsumsi produk halal sangat tinggi. Dalam  suatu  hasil  survei,  yang  dilakukan  oleh  Yayasan Halalan Thayyiban dan LPOM MUI (2000) menunjukkan bahwa konsumen Indonesia  memang  sangat  mempertimbangkan  aspek  kehalalan suatu  produk;  baik  makanan,  minuman, kosmetik,  dan obat-obatan. Sebanyak  77,6  persen  responden  menjadikan  halal  sebagai pertimbangan,  dan  93,9  persen  setuju  jika  kemasan  produk bersertifikat halal, wajib dicantumkan label halal dan nomor sertifikat halal.
Adapun kelemahan yang dimiliki Indonesia adalah belum tertatanya proses dan sistem jaminan halal (SJH) suatu produk secara reintegrasi sehingga nilai transaksi belum optimal. Dengan dukungan pemerintah yang secara konsisten mengontrol dan mengawasi SJH produk secara perlahan produk halal Indonesia kini mulai diminati oleh mancanegara.
Kesempatan yang dimiliki Indonesia untuk mengembangkan pasar halal sangat tinggi. Beberapa kesempatan tersebut diantaranya adalah pengembangan kawasan produk halal yang kini tengah dibahas oleh pemerintah. Dengan adanya kawasan industri halal, dengan sendirinya produk-produk yang diperdagangkan akan memenuhi kriteria dan spesifikasi yang diinginkan oleh pasar internasional karena tidak akan ada produk yang dapat keluar-masuk kawasan jika tidak memenuhi standar.
Adapun kesempatan lain yang dimiliki Indonesia adalah pasar pakaian muslim khususnya hijab yang mendapat respons positif dipasar internasional, khususnya Malaysia dan Singapura. Senior Supervisor Retail Pasar Baru Adolf Wuwungan menjelaskan, sepanjang Desember ini perputaran transaksi di PBTC diperkirakan menembus Rp 4 miliar-Rp 5 miliar per hari. Selain transaksi lokal menjelang Natal dan Tahun Baru, kondisi ini juga didorong peningkatan kunjungan konsumen dan pembeli besar asal Malaysia yang dua bulan terakhir tercatat tumbuh lebih dari 20 persen (Kompas, Okt 2014).
Ancaman yang nyata dari pengembangan produk adalah keengganan para pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal karenanya sulitnya birokrasi dan biaya yang ditentukan dalam proses. Hal ini menjadi masalah utama yang harus dihadapi pelaku pasar Indonesia karena dunia internasional saat ini sangat memandang standar halal suatu produk. Dengan begitu, mata internasional saat ini terpikat pada Malaysia yang telah fokus dalam pengembangan SJH produk. Untuk mendapatkan perhatian pasar internasional Indonesia perlu berusaha cukup keras untuk memperbaiki SJH dan mendorong para pelaku usaha untuk mendaftarkan produknya.
Strategi yang bisa diterapkan para pengusaha untuk mengembangkan produknya adalah dengan mengenali permasalahan yang dihadapi masing-masing, kemudian berupaya menyediakan produk halal yang berkualitas, mendekatkan produk tersebut kepada konsumen, menambah pengetahuan tentang perilaku konsumen yang mendalam dan terpenting menjaga kepercayaan atas kehalalan produknya. Faktor-faktor tersebutlah yang mempengaruhi keputusan konsumen untuk mengonsumsi produk halal. Di samping daya beli yang juga menentukan, memberikan pelayanan total yang menjadi kebutuhan konsumen Muslim sesuai aturan Islam tidak boleh diabaikan. Singkatnya, pengusaha harus senantiasa mengetahui perkembangan informasi guna merebut peluang yang tengah meledak di sektor halal ini.

No comments:

Post a Comment